Globalisasi2.0 berlangsung dari sekitar tahun 1800 hingga 2000 diselingi oleh masa depresi besar serta Perang Dunia I dan II. Masa ini menyusutkan dunia dari ukuran sedang ke ukuran kecil. Dalam era ini, pelaku utama perubahan atau kekuatan yang mendorong proses penyatuan global adalah perusahaan multinasional.
Jakarta - Globalisasi adalah menyatunya negara-negara di dunia menjadi negara yang sangat besar secara multidimensional. Globalisasi memengaruhi proses produksi global, penyebaran tenaga kerja internasional, kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Untuk itu, detikers perlu tahu apa saja faktor pendorong terjadinya mengacu pada kenyataaan bahwa manusia makin hidup dalam satu dunia yang disebut desa global. Karena itu, individu, kelompok, dan bangsa di bumi menjadi semakin saling bergantung dalam segala aspek kehidupan, seperti dikutip dari buku Seri IPS Geografi dan Sosiologi SMP Kelas IX oleh Drs. Sugiharyanto, terjadinya globalisasi yaitu adanya pengembangan di bidang teknologi informasi, telekomunikasi, dan transformasi, serta faktor-faktor lainnya dengan sangat pesat. Kemajuan teknologi mendukung batas-batas negara menjadi kurang berarti, baik dari segi ekonomi maupun Pesatnya Pengembangan Teknologi KomunikasiPerkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang pesat mempercepat terjadinya proses globalisasi di dunia. Negara yang memiliki infrastruktur teknologi komunikasi dan informasi dapat menggunakannya di skena perkantoran, pusat bisnis, dan perumahan. Dengan demikian, anak usia sekolah hingga di atas usia kerja dapat memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi dalam mengakses ilmu dan data sesuai kebutuhannya tanpa terbatas jarak Integrasi Ekonomi DuniaGlobalisasi juga terjadi karena adanya integrasi ekonomi dunia. Perekonomian global tidak lagi hanya didasarkan pada pertanian atau industri, tetapi didominasi kegiatan perekonomian tanpa bobot weightless economy dan tidak berwujud intangible economy. Produk perekonomian ini berupa informasi, perangkat lunak, produk media hiburan, dan jasa berbasis di masa globalisasi juga disebut sebagai knowledge-based economy atau perekonomian berbasis pengetahuan. Contoh produknya adalah transfer data dan pengetahuan secara real time dan atau online melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan Perubahan Politik DuniaMenurut Anthony Giddens, perubahan politik dunia merupakan kekuatan penggerak adanya globalisasi. Salah satunya yaitu runtuhnya imperium Uni Soviet, munculnya mkanisme pemerintahan internasional dan organisasi regional seperti PBB dan Uni Eropa, serta munculnya organisasi non pemerintah internasional dan Uni Soviet mendorong banyak negara bergerak dari perekonomian terpusat ke sistem ekonomi dan politik ala barat, seperti Ukraina, Hungaria, Polandia, Ceko, negara Baltik, dan negara di Asia Tengah. Sementara itu, organisasi internasional mendukung pembahasan dan penyelesaian isu internasional, seperti adanya WWF, dokter lintas batas, palang merah, dan Amnesty International dalam usaha perlindungan lingkungan dan Berkembangnya Perusahaan-Perusahaan TransnasionalPerusahaan nasional adalah perusahaan yang memproduksi barang dan jasa lebih dari satu negara. Perusahaan transnasional merupakan jantung perekonomian global karena menjadi menyebarkan teknologi baru di berbagai belahan dunia dan menjadi pelaku utama di pasar uang internasional. Perusahaan transnasional dibentuk tiga pasar regional berpengaruh, yaitu Pasar Tunggal Eropa, Asia-Pasifik, dan Amerika salah satu faktor pendorong terjadinya globalisasi adalah pengembangan di bidang teknologi informasi, telekomunikasi, dan transformasi. Namun penggunanaan teknologi harus tepat guna dan jangan kebablasan ya detikers! Simak Video "Google Sediakan 11 Ribu Beasiswa Pelatihan untuk Bangun Talenta Digital" [GambasVideo 20detik] twu/nwy
CarlG. Gustavson lewat bukunya A Preface of History yang dikutip Prof. Dr. Kuntowijoyo (2005: 127-144) mengutarakan 6 kekuatan penentu arah sejarah. Antara lain: (1) ekonomi; (2) agama; (3) institusi (terutama institusi politik); (4) teknologi; (5) ideologi; (6) militer. Selanjutnya mendiang Prof. Kuntowijoyo menyebutkan faktor individu, seks
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Hal hal yang banyak diperbincangkan pada saat ini adalah kehidupan di era yang serba canggih, modern dan seakan menyatu dengan seluruh dunia atau biasa kita kenal dengan globalisasi. Masalah ini banyak diperbincangkan karena di era yang mengglobal ini kita di hadapkan dengan kenyataan yang semuanya serba blur di segala bidang yang mencakup bidang ekonomi bahkan juga budaya. Yang paling terlihat adalah ekonomi, budaya bahkan teritorial sebuah negara seakan luntur dengan adanya proses globalisasi. Siapapun, dimanapun dan kapanpun semuanya tidak bisa menolak adanya proses itu. Semuanya seakan luntur dan menjadi abstrak mengenai batasan-batasan dari suatu negara ke negara lain. Globalisasi dalam bidang ekonomi, seakan akan kita harus mengikuti permainan yang dibuat oleh negara-negara maju, khusnya negara yang berkuasa dibidang ekonomi, seperti Amerika, Jepang dan Eropa. Globalisasi dapat disebabkan dengan beberapa faktor, yaitu perubahan politik dunia. Adanya pengaruh politik yang menjadi kekuatan penggerak dibalik meningkatnya juga meluasnya globalisasi. Selain itu aliran data informasi yang sangat cepat dan sangat luas. Peningkatan teknologi informasi juga merupakan penyebab dari globalisasi. Masyarakat dengan adanya tenologi informasi dapat meluaskan pandangannya terhadap hal-hal yang mencakup apapun, tentu dengan di dkung adanya internet. Sebagai masyarakat yang global, orang akan merasa tanggung jawab sosial bukan hanya di level nasioanlanya, tetapi juga level internasional. Misalnya saja terjadi bencana alam yang merenggut korban jiwa, masyarakat seakan akan merasakan bahwa itu juga penderitaan yang mereka alami, dan merekapun akan ”bersama-sama” untuk memikirkan dan mencari jalan keluarnya dengan cara mereka masing masing. Selain itu dengan mereka mengakses informasi dengan internet juga media manapun yang menayangkan hal tertentu, masyarakat dunia akan berfikir secara global. Mereka akan melihat ke sumber-sumber lain dan ketimbang negara merumuskan rasa identitas mereka sendiri. Dan hal inipun merupakan sebab sebab dari cepatnya globalisasi. Interaksi dalam globalisasi yaitu melalui media maupun internet menjadikan masuknya kebudayaan kebudayaan asing dan juga jenis hubungan sosial yang tidak disaring terlebih dahulu. Bahkan menurut sumber yang saya baca dijelaskan bahwa ” kekuatan yang menghubungkan paham kapitalisme dengan produksi dan distribusilah yeng mengendalikan globalisasi. Dominasi dan kekuatan ini berada dalam perdagangan dan sistem finansial internasional sehingga dapat memungkinkan mereka untuk memaksakan produksi mereka dibeli seluruh dunia. Dengan kata lain, produksi budaya hasil globalisasi yang dibanggakan dan diutamakan adalah produk budaya Barat. Sehingga terjadi ketimpangan antara budaya Barai dan budaya lokal masing-masing bangsa. Jadi, globalisasi bukanlah proses yang inklusif, integratif, pluralis dan juga bukan proses yang seimbang atau proses sintesis melainkan budaya global adalah budaya yang dipaksakan untuk dibeli dan menggantikan posisi budaya lokal hasil pengalamau sejarah masing-masing bangsa. Secara singkatnya globalisasi adalah ekspansi global budaya Barat”. Apapun yang terjadi, globalisasi nyatanya juga telah mengurangi peran globalisasi juga dianggap tidak mampu untuk melindungi warisan budaya mereka karna pemerintah lebih condong memikirkan bagaimana meningkatkan daya saing global mereka terhadap negara lain. Globalisasi menyangkup semua aspek, terutama aspek ekonomi yang sangat terasa hingga maysarakat bawah. Salah satu yang terjadi yaitu diberlakukannya free trade. Diberlakukannya free trade merupakan dampak dari adanya globalisasi. Dampak itu terlihat jelas dengan masuknya bukan lagi hanya kebudayaan asing tetapi juga barang barang asing yang juga mendominasi. Misalnya di indonesia di berlakukannya CAFTA dan menyebabkan banjirnya produk china di pasaran indonesia juga kawasan ASEAN lainnya. Selain itu krisis ekonomi juga merupakan sebab dari adanya arus globalisasi. Karna ketidak mampuan dan juga lemahnya fondasi ekonomi finansial di asia dan juga ketidak mampuan mereka untuk menghadapi globalisasi menghadapi mereka dengan krisis ekonomi. Padahal, untuk menghadapi semua itu memerlukan proses yang panjang. Seperti penataan pendidikan, teknologi, IPTEK dan juga hal hal yang lainnya. Dan negara negara kecil hingga negara berkembang belum tentu semua mampu untuk menghadapi globalisasi ini. Globalisasi tidak hanya melemahkan peranan negara saja, globalisasi juga menguatkan peranan negara. Globalisasi dapat memacu sebuah negara untuk menyiapkan diri untuk menghadapi globalisasi. Dengan memperkuat sistem ekonominya,meningkatkan persenjataannya, dan juga pertahanan negaranya, misalnya dengan membangun persenjataan nuklir. Selain itu yang dapat dinikmati dengan adanya proses globalisasi yaitu masuknya investasi asing yang dapat menguatkan perekonomian negara,masuknya produk berkualitas dengan harga bersaing di pasaran, pengalihan nilai-nilai tentang demokrasi dan HAM yang dapat mengarahkan transparasi pemerintah dan juga terbukanya saluran hak-hak sipil politik masyarakat juga merupakan hal-hal positif yang dapat dipelajari dengan masuknya globalisasi. Tetapi, tantangan kedepannya yaitu bagaimana kita dapat memanfaatkan semua itu, bukan malah menjadikan itu semua hanya untuk pada kondisi menguntungkan pihak sebenarnya lebih menguntungkan negara maju, karena negara maju dengan adanya globalisasi ini semakin maju begitupula juga dengan sebaliknya. Negara yang terbelakang akan semakin jauh terbelakang. Jurang antara kaya dan yang miskin akan semakin terlihat, karena terjadinya persaingan ekonomi. Persaingan ekonomi terjadi karena misalnya yang telah disebutkan tadi, pasar bebas atau free trade. Dengan pasar bebas, persaingan ekonomi akan semakin perusahaan multinasional yang akan terus melebarkan jangkauan wilayahnya. Investasi asing yang semakin banyak masuk dan mendominasi sebuah negara. Juga dengan hal-hal lain. Buruh di pasar bebas juga sebenarnya merupakan korban dari globalisasi ini. Buruh migran menjadi kerawanan negara yang bersangkutan dan bahkan sudah mengarah pada penurunan harga diri negara. Dalam hal ini lihat kasus buruh indonesia di malaysia. Selain itu buruh migran kerawanan mereka terhadap perlindungan hukum dapat menjadikan negara tidak dapat dipercayai lagi oleh rakyatnya. Hal ini seakan menjadi dilema bagi pemerintah. Disisi lain pemerintah tidak dapat berbuat banyak dan seakan seperti lepas tangan terhadap buruh migran,tetapi dilain pihak pemerintah juga tidak mempunyai lapangan pekerjaan yang cukup banyak untuk menampung para buruh migran di negaranya sendiri. Hal ini memperlihatkan kita bahwa kerawanan dan kesejahteraan rakyatnya dari perlakuan tidak menyenangkan terhadap buruh migran tidak dapat dilindungi oleh pemerintah. Buruh migran akan selalu mendapat perlakuan itu semua. Pemerintah juga tidak dapat melindungi sumber daya nya dari eksploitasi secara pemerintah sadar dan membuat kebijakan yang mampu mengatasi kerawanan buruh migran. Tapi pada kenyataannya pemerintah yang didominasi oleh negara berkembang ini seakan akan tidak ikut campur atau cuci tangan dalam hal tersebut. mereka seakan menerima perlakuan tersebut terhadap buruh imigrannya. Dan ini menunjukan lemahnya peranan negara dalam masalah yang ditimbulkan akibat adanya globalisasi itu ada juga pengaruh globalisasi dalam bidang politik. Sejak terbentuknya sebuah negara, secara otomatis pemerintah memiliki hak dalam wewenangnya dalam batas nasional. Tetapi,dalam pemerintahan yang demokratis di era globalisasi ini rakyatlah yang seakan akan menjadi penentu dalam menjalankan kesepakatan antara negara negara dapat dicapai, tetapi itu tidak terkait secara hukum,dan tidak ada badan internasional yang menguatkan kesepakatan Lihat Sosbud Selengkapnya
Buruknyakinerja sistem politik tentu sangat merncemaskan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam sebuah era globalisasi neoliberal. Untuk bisa survive, dan sekaligus tidak menjadi pecundang (the looser), negara harus kuat dan tangguh dalam pengertian memiliki power and wealth.
Secara Umum, globalisasi dipahami oleh George Ritzer sebagai suatu proses penyebaran kebiasaan-kebiasaan yang mendunia, ekspansi hubungan yang melintasi benua, organisasi dari kehidupan sosial pada skala global, dan pertumbuhan dari sebuah kesadaran global bersama. Sementara menurut Anthony Giddens, globalisasi merupakan intensifikasi relasi sedunia yang menghubungkan lokalitas yang saling berjauhan sedemikian rupa sehingga sejumlah peristiwa sosial dibentuk oleh peristiwa yang terjadi pada jarak bermil-mil dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa globalisasi merupakan terintegrasinya segala aspek kehidupan manusia, mulai dari ekonomi, informasi, sistem politik sampai aspek budaya. PENDEK KATA, globalisasi telah membuat bumi yang kita diami ini seakan-akan seperti desa global yang saling terkoneksi dengan cepatnya antara satu dengan yang lainnya. Menggunakan kecanggihan teknologi, globalisasi membanjiri segenap penjuru dunia dengan arus informasi yang dengan mudahnya dapat diakses oleh setiap orang. Secara ekonomi, politik dan budaya, dunia seakan-akan tanpa sekat teritorial negara karena semuanya seakan menjadi satu dalam sebuah dunia. Globalisasi secara masif diberlakukan di seluruh dunia sejak tahun 1980 seiring dengan kian dominannya Blok Barat yang dikomandoi oleh Amerika Serikat dalam percaturan dunia setelah kolapsnya Uni Sovyet dengan Blok Timurnya. Sebagai sebuah sistem, globalisasi tentu memunculkan dampaknya terhadap masyarakat dunia. Pada satu sisi, globalisasi berdampak positif bagi upaya memperoleh standar hidup yang layak. Hal ini karena globalisasi menyediakan arena berkompetisi yang sama bagi setiap negara untuk memanfaatkan peluang yang disediakan. Fenomena kesuksesan Tiongkok dan India yang memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang disediakan globalisasi sehingga perekonomiannya mengalami peningkatan, bahkan kemudian menjadi dua kekuatan baru ekonomi dunia layak dikemukakan sebagai contoh. Akan tetapi sebaliknya, globalisasi ternyata juga memunculkan ekses negatif di seluruh dunia. Menurut Petras and Veltmeyer, globalisasi hanya dinikmati oleh negara-Negara Maju, sementara negara-negara Dunia Ketiga hanya berperan sebagai penonton, bahkan menjadi korban dari beragam ekses negatif yang ditimbulkannya. Menurut Shiva, globalisasi juga memarginalisasi petani yang ada di negara-negara Dunia Ketiga karena berbagai aturan perdagangan global membuat mereka semakin terpinggirkan, bahkan tercerabut dari sistem, profesi dan cara hidup yang selama ini dilakoninya. Globalisasi juga diklaim Tauli-Corpuz justru mengikis sistem ekonomi dan kebudayaan lokal yang ada di negara-negara Dunia Ketiga karena proyek-proyek yang dibiayai oleh badan kapital IMF lebih banyak dilaksanakan di daerah-daerah tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu dengan penduduk lokal. Hirst and Thomspon juga mengatakan bahwa globalisasi yang diklaim sebagai sarana menuju kesejahteraan masyarakat dunia ini tidak lebih hanya sebuah mitos. Karenanya, Hirst and Thomspon mengajukan lima argumen untuk mendasari kesimpulannya tersebut. Pertama, keterbukaan ekonomi internasional yang dijadikan jurus jitu para pendukung globalisasi untuk menarik simpati dunia sesungguhnya tidak lebih terbuka dibandingkan tahun 1870 sampai 1914. Kedua, eksistensi perusahaan transnasional murni sebagai salah satu agen globalisasi sulit ditemukan karena meskipun berbasis nasional, tetapi pemasarannya menjangkau lintas negara dan internasional untuk memperkuat aset nasional, produksi dan penjualannya. Ketiga, mobilitas modal yang diklaim para pendukung globalisasi akan mengalir deras ke Dunia Ketiga tidak sepenuhnya menjadi kenyataan karena lebih terkonsentrasi di negara-Negara Maju, sementara Dunia Ketiga tetap berada pada posisi terpinggirkan. Keempat, tujuan akan terciptanya ekonomi sebagaimana yang diklaim para pendukung globalisasi sesungguhnya tidak benar-benar terjadi karena arus perdagangan, investasi dan keuangan global lebih banyak berkonsentrasi di Tri Tunggal Eropa Inggris, Perancis dan Jerman, Jepang dan Amerika Utara, termasuk juga Tiongkok dan India. Terakhir, oleh karena tidak merata di seluruh dunia, maka Inggris, Perancis, Jerman, Jepang, Amerika Serikat dan Kanada mengendalikan setiap aspek ekonomi dunia sejalan dengan tujuannya. Sejalan dengan Hirst and Thomspon, Tandon mengajukan fakta terkait tidak globalnya perekonomian dunia karena hanya dikuasai dan didominasi oleh tiga kekuatan dunia. Ketiga kekuatan utama dunia yang dinamai sebagai Triad tersebut adalah Amerika Utara, Eropa Barat dan Asia Timur menguasai sumberdaya yang dimiliki kawasan yang dihegemoninya hinterland. Menurut Samir Amin, globalisasi adalah metamorphosis dari penjajahan ketiga yang dilakukan Barat terhadap Dunia Ketiga, setelah sebelumnya mempraktikkan merkantilisme dan imperialisme. Seiring dengan runtuhnya Uni Sovyet, maka pola imperialisme dalam format globalisasi yang dilakukan untuk memperkuat Trio Pusat Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang mendapatkan dukungan dari beberapa kekuatan, yaitu wewenang untuk campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain yang diperkuat oleh demokrasi, hak rakyat dan kemanusiaan. Hal ini semakin diperkuat dengan strategi unjuk kekuatan militer Barat di berbagai negara yang berafiliasi dengannya untuk memastikan hegemoninya tetap kuat. Chakrabarty mengatakan bahwa globalisasi tidak lain merupakan manifestasi dari ambisi Eropa membangun kembali hegemoninya menggunakan serangkaian praktik imperialisme sejarah di negara-negara Dunia Ketiga. Demikian sederet dampak dan pandangan positif dan negatif dari pemberlakukan globalisasi di seluruh dunia yang ditengarai oleh banyak kalangan. Di samping beberapa dampak di atas, globalisasi juga memunculkan perdebatan di kalangan ahli mengenai peran negara atau pemerintah dalam pembangunan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa globalisasi telah membuat bumi ini seakan seperti sebuah desa yang tidak disekat oleh batas-batas teritorial negara. Terintegrasinya dunia secara politik, ekonomi, budaya dan informasi membuat orang-orang dengan mudahnya dapat saling berinteraksi dan memanfaatkan peluang tanpa terkendala dengan status negara di manapun dan kapanpun. Akibatnya, batas-batas fisik terirorial negara melebur sehingga dengan demikian pemerintah pun dianggap tidak memiliki banyak peranan dalam pembangunan. Isu peran yang dimainkan negara atau pemerintah menjadi salah satu tema sentral dalam perdebatan seputar globalisasi. Hal ini karena sebagai pihak yang diserahkan tanggungjawab pengelolaan negara, pemerintah sebagai manifestasi negara seharusnya berperan aktif dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi rakyatnya. Peran dimaksud mewujudkan diri dalam kebijakan-kebijakan publik yang dimaknai oleh Steven A. Peterson sebagai tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi beragam masalah. Begitu pula kebijakan publik yang dipahami oleh Leo Agustino sebagai sebuah tindakan yang dilakukan pihak oleh berwenang, memiliki maksud atau tujuan tertentu, tidak bersifat acak atau terencana, memiliki sasaran dan berorientasi pada tujuan, serta berlandaskan pada aturan yang berlaku. Globalisasi dengan segala dampaknya perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah agar ekses positifnya dapat dimanfaatkan dengan baik dan ekses negatifnya dapat dihindari oleh rakyat. Sebagai pihak yang secara konstitusional berperan penting dalam sebuah negara, pemerintah tidak selamanya menjadi pemain tunggal dalam pengelolaan negerinya. Catatan sejarah mengungkapkan dinamisnya peran yang dimainkan pemerintah dalam pembangunan negara. Ada saat ketika pemerintah sangat berperan, bahkan sangat absolut, dalam melakukan pembangunan dalam sebuah negara, akan tetapi ada pula masa dimana pemerintah tidak lebih sebagai pelengkap saja. Menurut Budi Winarno, peran negara dalam pembangunan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu peran negara era tahun 1950-1960-an dan peran negara era 1970-an sampai sekarang. Peran yang dimainkan negara di masa sebelum 1970-an sangat signifikan dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan suatu bangsa, tetapi setelah tahun 1970 sampai sekarang terjadi pemangkasan peran yang dimainkan negara. Perdebatan mengenai peran yang dijalan negara atau pemerintah dalam pembangunan ini menurut Anthony Giddens memunculkan dua kelompok besar yang masing-masing melahirkan teori, yaitu kelompok radikal di satu sisi dan kelompok skeptis di sisi yang lain. Secara umum, kelompok radikal diidentifikasikan sebagai kumpulan pemikir sosial yang mendukung globalisasi karena menganggapnya sebagai sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia, sementara skeptis dikenal sebagai kelompok intelektual yang meragukan kemungkinannya, bahkan menentang keberadaannya. Sebagai upaya mendukung pendapatnya, masing-masing kelompok ini mengajukan beragam asumsi dan data yang dimilikinya. Peran negara dalam pembangunan dimulai selama Perang Dunia Kedua dengan mengendalikan seluruh kekuatan nasional. Menurut Abidin, peran pemerintah semakin signifikan setelah berakhirnya perang yang telah merusak beragam infrastruktur untuk meyakinkan rakyat akan keperluan pembangunan dan mengajaknya berpartisipasi, proses nasionalisasi beragam lembaga ekonomi yang ditinggalkan penjajah, koordinasi dan komplemantaritas antar berbagai industri dan bisnis, dan melakukan pembangunan berencana yang terpusat. Teori Keynes menjadi landasan perlunya intervensi pemerintah dalam setiap aspek pembangunan yang diwujudkan dengan Program Marshall Plan sehingga mengantarkan Amerika dan Eropa berjaya dalam bidang ekonomi dan lain sebagainya. Langkah ini juga diikuti oleh beragam negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia yang menerapkan Rencana Pembangunan Lima Tahun Repelita, Malaysia yang menerapkan berbagai kebijakan untuk memacu industrialisasi berturut-turut mulai tahun 1970 sampai tahun 1995 dan India yang membentuk Komisi Perencanaan Nasional sebagai upaya mendorong Rencana Lima Tahunan. Menurut Kamal Mathur, terdapat tiga cara yang dilakukan negara di masa sebelum tahun 1970 dalam upaya membangun bangsa, yaitu melalui belanja pemerintah, melalui mobilisasi sumberdaya dan melalui partisipasi dalam produksi industrial yang dilaksanakan dalam tiga wilayah kebijakan investasi, perdagangan dan finansial. Wilayah pertama dilakukan negara dengan cara menerbitkan beragam kebijakan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif sebagai upaya menarik minat para investasi asing untuk menanamkan modalnya di dalam negeri. Hal yang sama juga dilakukan negara terkait dengan kebijakan-kebijakan pada aspek perdagangan dan finansial yang berintikan penciptaan iklim yang memungkinkan perekonomian dapat berkembang dengan baik. Terkait dengan hal ini, Michael Todaro mengungkapkan faktor-faktor yang mendasari diperlukannya peran negara dalam pembangunan, yaitu kegagalan pasar, mobilisasi sumberdaya dan dampak psikologis. Kegagalan pasar dalam menstabilisasikan komoditas dan harga berdampak pada mislokasi sumberdaya yang dapat berbahaya di masa mendatang. Mobilisasi sumberdaya diperlukan karena negara-negara berkembang umumnya menghadapi kendala kualitas sumberdaya manusia sehingga dengan adanya peran pemerintah membuat arah pembangunan menjadi lebih fokus. Dengan peran negara yang kuat dan dominan akan berdampak psikologis bagi masyarakat sehingga akan tercipta pembangunan yang dapat mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan. Peran negara yang dominan dalam pembangunan setelah Perang Dunia Kedua mulai mendapatkan kritikan yang dimulai pada tahun 1970 seiring dengan melambatnya perekonomian Amerika dan Eropa setelah berjaya selama hampir 25 tahun. Upaya mengurangi peran negara pertama kali dilakukan oleh Inggris di masa Perdana Menteri Margareth Thatcher dan di Amerika Serikat di bawah Presiden Ronald Reagan. Pengurangan peran negara dilakukan Thatcher terhadap empat wilayah publik, yaitu pelayanan kesehatan, pendidikan, santunan pengangguran dan pensiunan hari tua. Berbeda dengan di masa sebelum 1970 yang berparadigma state-led development, pemangkasan peran negara setelah kemenangan Kelompok Neoliberal di Eropa dan Amerika Serikat menggeser cara pandang kebijakan menjadi market-led development. Kritikan terhadap paradigma pembangunan yang selama ini diterapkan dan pemangkasan peran negara dalam pembangunan ini dilancarkan oleh kalangan yang berperspektif radikal. Hal ini karena globalisasi menurut kelompok ini dipahami sebagai sejarah baru yang terjadi dalam kehidupan manusia yang menempatkan negara tradisional menjadi tidak lagi relevan, terutama dalam konteks unit-unit bisnis yang ada dalam sebuah ekonomi global. Bagi kaum radikal, batas-batas negara bukan waktunya lagi untuk dijadikan topik bahasan karena globalisasi sudah meluluhlantakkannya. Di samping itu, dominannya peran negara dalam urusan-urusan perekonomian sebagaimana yang dipraktikkan sebelum tahun 1970 diklaim sebagai kekangan dan kungkungan yang menghambat efisiensi penggunaan sumberdaya-sumberdaya dunia yang langka. Kenichi Ohmae merupakan salah satu tokoh radikal yang mengusulkan pemangkasan peran negara agar tujuan-tujuan globalisasi dalam digapai dengan sukses. Terkait dengan ini, Ohmae mengajukan empat alasan yang memperkuat pandangannya mengenai marginalisasi peran negara yang disebutnya sebagai Faktor “i”. Investasi merupakan faktor “i” pertama, karena sebaran dana dapat menyebar ke tempat-tempat yang justru berada di luar wilayah asal dana tersebut. Faktor “i” kedua adalah industri, karena ekspansinya sudah tidak mengenal lagi batas-batas negara, tetapi berdasarkan pada pertimbangan pangsa pasar sehingga banyak perusahaan yang justru beroperasi jauh berada di luar wilayah asalnya. Teknologi informasi menjadi faktor “i” ketiga, karena pesatnya perkembangan kedua entitas ini sehingga mampu melintasi batas-batas negara, bahkan hanya dalam hitungan detik saja. Faktor “i” terakhir yang memperkuat pandangan Ohmae akan marginalisasi peran negara adalah konsumen-konsumen individual yang berorientasi global sudah dapat mengakses berbagai kebutuhan di seluruh dunia karena kemajuan teknologi informasi, tanpa terhambat oleh batas-batas negara. Diskursus peran negara dalam pembangunan di era globalisasi ternyata belum berakhir dengan bergesernya kebijakan menjadi market-led development yang didukung oleh beberapa kalangan. Menurut Holton dan Wolf, pemangkasan peran negara dalam globalisasi justru melupakan sejarah karena perkembangan pesat globalisasi yang dijadikan alasan kelompok pendukungnya tidak dapat disangkal merupakan peran negara. Negara-negara yang menjadi aktor utama globalisasi Amerika Utara, Eropa Barat dan Asia Timur saat ini bisa mendapatkan keuntungan yang besar melalui korporasi-korporasi dan lembaga-lembaga internasional merupakan implikasi dari peran negara melalui beragam kebijakan yang dihasilkannya. Di samping itu, Holton dan Wolf juga mengatakan bahwa korporasi-korporasi dan lembaga-lembaga internasional yang menjadi agen utama globalisasi tentu membutuhkan arena wilayah untuk memainkan peranannya yang tentunya secara politik diwakili oleh negara. Masih dalam konteks yang sama, Singh juga mengatakan bahwa peran negara justru semakin kuat dan sangat layak untuk dikemukakan di era globalisasi. Sebagai upaya menguatkan pendapatnya, Singh mengajukan beberapa alasan pembenar terkait semakin menguatnya peran negara di tengah masifnya kegiatan globalisasi di seluruh dunia. Alasan pertama, tidak semua negara berkurang atau melemah peranannya di era globalisasi, karena tingkatannya sangat berbeda antara satu negara dengan negara lainnya, tergantung dengan ukuran, kekuatan militer, dan kekuatan negara. Sebagai kekuatan utama dunia dan aktor utama globalisasi, peran Amerika Serikat tentu tidak melemah dibandingkan dengan beberapa negara Dunia Ketiga yang ada di Asia dan Afrika karena tingkatan ukuran, kekuatan militer dan kekuatan negaranya sangat berbeda. Faktor penguat kedua adalah secara finansial ongkos yang harus dikeluarkan pemerintah untuk menjadi bagian dari globalisasi tidak begitu signifikan menggerogoti keuangan negara. Hal ini karena sebuah negara yang semakin terintegrasi dengan negara-negara lainnya, maka pengeluaran negara akan cenderung bertambah daripada berkurang. Faktor ketiga, privatisasi sektor publik yang menjadi prasyarat bagi globalisasi yang disyaratkan oleh salah satu aktornya IMF bukan berarti penolakan terhadap intervensi negara. Hal ini karena, meskipun privatisasi di satu sisi dapat menyebabkan penurunan kepemilikan publik, namun di lain sisi kebijakan ini akan berdampak pada peningkatan regulasi negara melalui pembentukan otoritas, kebijakan regulasi persaingan, norma keterbukaan, dan langkah-langkah kebijakan baru lainnya. Faktor terakhir, meskipun peran negara akan berkurang pada aspek ekonomi, namun di sektor-sektor lain peran negara akan meningkat secara signifikan, seperti meningkatnya sikap represif negara terhadap rakyatnya yang melakukan protes terhadap program pemerintah yang dianggap menguntungkan korporasi asing. Memperkuat pandangan-pandangan di atas, Budi Winarno mengajukan dua alasan yang mendasari sangat signifikannya peran negara di era globalisasi ini. Pertama, sebagai implikasi dari kolonialisme di masa lalu dan globalisasi di masa sekarang ini, banyak rakyat di Dunia Ketiga yang masih bergelimang dengan ketidakberdayaan dan kemiskinan. Kondisi ini tentu membutuhkan peran negara untuk melakukan pembangunan yang dapat meningkatkan taraf hidup mereka agar bisa sejajar dengan negara-negara lainnya. Kedua, sistem globalisasi melalui mekanisme pasar tidak boleh dibiarkan terus mendominasi setiap aspek kehidupan rakyat karena cara ini tidak menjamin keadilan dalam distribusi pendapatan rakyat. Agar masing-masing rakyat mendapatkan haknya untuk hidup secara lebih baik maka diperlukan peran negara yang mengatasinya melalui pembangunan yang mendukung terpenuhinya aspirasi rakyat. Budi Winarno lebih lanjut juga mengungkapkan fakta beberapa negara yang pernah dihantam krisis dan mampu mengatasinya karena peran efektif pemerintahnya, seperti yang terjadi di Korea Selatan dan Malaysia. Melalui tindakan pemerintah dengan seperangkat birokrasinya yang efektif, Korea Selatan dan Malaysia berhasil mengatasi krisis moneter dan ekonomi yang melanda keduanya serta mampu bangkit dari keterpurukan. Sebaliknya, oleh karena ketiadaan peranan yang efektif dari negara sebagaimana yang ditunjukkan oleh Korea Selatan dan Malaysia, Indonesia tidak berhasil mengatasi krisis moneter serta ekonomi yang membelitnya dan dampaknya masih dapat dirasakan sampai sekarang. Berlandaskan pada pandangan kalangan skeptis dengan sederet argumentasi dan faktanya di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peran negara dalam pembangunan justru harus tetap ada atau harus diperkuat. Terkait dengan diskursus peran signifikan negara dalam mengatasi masalah-masalah publik ini, maka paradigma New Public Service NPM layak dikedepankan. Konsep yang diusung oleh Janet V. Dernhart dan Robert B. Dernhart ini merupakan kritikan terhadap Reinventing Government yang diajukan oleh David Osborne dan Ted Gaebler. Sebagai kritikan terhadap bentuk lain dari New Public Management NPM yang menjadi paradigma mainstream dalam diskursus peran Negara ini, NPS mengganggap bahwa menjalankan administrasi pemerintahan tidaklah sama dengan mengelola organisasi bisnis, hal ini karena harus digerakkan sebagaimana menggerakkan pemerintahan yang demokratis. Misi organisasi publik tidak sekedar memuaskan pengguna jasa customer, tetapi juga menyediakan pelayanan barang dan jasa sebagai pemenuhan hak dan kewajiban publik. Berbeda dengan Reinventing Governance yang diusung NPM, Paradigma NPS memperlakukan publik pengguna layanan publik sebagai warga negara citizen, bukan sebagai pelanggan customer. Peran negara yang dijalankan oleh para birokratnya tidak sekedar melakukan kegiatan yang dapat memuaskan pelanggan, tetapi juga memberikan hak warga negara dalam mendapatkan pelayanan publik. Perspektif yang diusung NPS ini diilhami oleh warisan intelektual yang dipersembahkan oleh orang-orang yang menaruh perhatian terhadap pelayanan publik. Menurut Dernhart, kelahiran NPS terinspirasi oleh 4 empat komponen yang lebih kontemporer dari layanan publik, yaitu 1 teori warga negara demokratis, 2 model komunitas dan masyarakat sipil, 3 humanisme organisasional dan administrasi publik baru, dan 4 administrasi publik modern. Paradigma NPS memandang penting keterlibatan banyak aktor dalam penyelenggaraan urusan publik. Dalam administrasi publik apa yang dimaksud dengan kepentingan publik dan bagaimana kepentingan publik diwujudkan tidak hanya tergantung pada lembaga negara. Kepentingan publik harus dirumuskan dan diimplementasikan oleh semua aktor baik negara, bisnis, maupun masyarakat sipil. Berdasarkan paradigma NPS, peran negara yang dijalankan oleh para birokratnya dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana berikut ini Melayani Warga Negara, bukan Pelanggan Kepentingan publik adalah hasil suatu dialog tentang nilai-nilai bersama ketimbang kumpulan kepentingan-diri individual. Oleh karena itu, pelayan publik tidak hanya bertanggungjawab kepada tuntutan “para pelanggan”, tetapi lebih tepatnya berfokus pada pembangunan hubungan kepercayaan dan kolaborasi dengan dan di antara warga negara; Mengusahakan Kepentingan Publik Para administrator publik harus member sumbangan untuk membangun suatu gagasan kolektif kepentingan publik yang dianut bersama. Tujuannya ialah bukan untuk menemukan solusi-solusi cepat yang didorong oleh pilihan-pilihan individual. Lebih tepatnya, adalah menciptakan kepentingan-kepentingan bersama dan tanggungjawab bersama; Menghargai Warga Negara melebihi Kewirausahaan Kepentingan publik lebih baik dimajukan oleh pelayan publik dan warga negara yang bertekad memberikan sumbangan bermakna kepada masyarakat ketimbang oleh manajer usahawan yang bertindak seakan-akan uang publik itu adalah milik mereka sendiri; Berpikir Secara Strategis, Bertindak Secara Demokratis Kebijakan dan program memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secara paling efektif dan paling bertanggungjawab melalui usaha kolektif dan proses kolaboratif; Mengakui bahwa Akuntabilitas tidak Sederhana Pelayan publik harus lebih memerhatikan ketimbang pasar; mereka juga harus mematuhi undang-undang dan hukum konstitusional, nilai komunitas, norma politik, standar professional, dan kepentingan warga negara; Melayani bukan Menyetir Semakin penting bagi para pelayan publik untuk menggunakan kepemimpinan berbasis nilai yang dianut bersama dalam membantu warga negara mengutarakan secara jelas dan memenuhi kepentingan bersama mereka ketimbang berusaha mengendalikan atau menyetir masyarakat dalam arah-arah yang baru; Menghargai Manusia, Bukan Sekedar Produktivitas Organisasi publik dan jaringan tempat mereka berpartisipasi lebih mungkin berhasil dalam jangka panjang jika mereka bekerja melalui proses-proses kolaborasi dan kepemimpinan bersama yang didasarkan pada penghargaan terhadap semua orang. Berdasarkan perspektif NPS di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bahwa birokrasi harus dibangun agar dapat memberikan perhatian kepada pelayanan masyarakat sebagai warga negara bukan sebagai pelanggan, mengutamakan kepentingan umum, mengikutsertakan warga masyarakat, berpikir strategis dan bertindak demokratis, memerhatikan norma, nilai dan standar yang ada dan menghargai masyarakat dalam artian keterlibatan masyarakat menjadi sesuatu yang sangat penting. Mengadopsi konsep New Public Service NPS di atas, maka dapat dikatakan bahwa peran negara/pemerintah justru akan semakin signifikan di era globalisasi. Implementasi dari konsep New Public Service NPS ini pada satu sisi akan membuat negara/pemerintah melalui birokrasinya mampu menyikapi perubahan-perubahan yang senantiasa terjadi dalam skala global secara arif dan bijaksana, serta di sisi lainnya akan dapat memenuhi tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik yang prima. Hal ini karena masyarakat harus mendapatkan pelayanan yang baik sebagai warga negara, bahkan harus lebih baik dari pelayanan yang diberikan terhadap seorang pelanggan. Penyikapan pemerintah terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di skala global tersebut tentu akan diikuti dengan lahirnya kebijakan-kebijakan yang mendukung kepentingan rakyat, sehingga perannya sebagai pelayan masyarakat tetap terus berlangsung. Pada konteks ini, seiring dengan arus globalisasi yang melahirkan banyak persoalan dampak negatifnya, seharusnya pemerintah harus berperan lebih dominan dalam membantu rakyat mengatasi beragam problem yang mereka hadapi. Tidak seperti sistem birokrasi lama yang menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, tetapi pemerintah harus berinovasi melahirkan kebijakan solutif bagi terpecahkannya persoalan-persoalan yang dialami rakyat dalam hubungannya dengan globalisasi. Berlandaskan pada konsep New Public Service NPS, pemerintah melalui sistem birokrasi yang dimilikinya bersama dengan stakeholders lainnya seharusnya mampu berinovasi menciptakan terobosan solusi bagi masalah yang dihadapi rakyat. Salah satu contoh yang dapat diterapkan bagaimana signifikannya peran pemerintah di era globalisasi adalah terkait dengan petani karet. Melalui implementasi peranannya, pemerintah dapat membalikkan posisi karet yang selama ini diperuntukkan bagi ekspor 80 persen, menjadi pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara pemerintah mengambil kebijakan pemanfaatan karet untuk memenuhi keperluan dalam negeri, campuran aspal salah satunya. Oleh karena dalam negeri sendiri yang memanfaatkannya, maka penghasilan petani karet akan meningkat karena harga karet yang selama ini ditentukan sepenuhnya oleh negara-negara pengimpor, dapat ditetapkan sendiri oleh pemerintah sebagai pengguna utamanya. Contoh lainnya adalah kebijakan-kebijakan pembangunan berbasis potensi lokal yang diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Merangin, seperti pengembangan wisata alam, revitalisasi lubuk larangan dan lain sebagainya. Atau kebijakan-kebijakan berbasis potensi dan kebutuhan masyarakat perkotaan yang diterapkan oleh Pemerintah Kota Jambi melalui Kampung Bantar dan lain sebagainya. Pendek kata, pemerintah, khususnya pemerintah daerah pasca otonomi daerah dapat berperan secara optimal melalui serangkaian kebijakan inovatif-solutifnya agar kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Semoga… Dr. H. Pahrudin HM, Ketua Program Studi Ilmu Politik Universitas Jambi Post Views 4,470
Globalisasimengacu pada keserbaragaman hubungan dan saling keterkaitan antarmasyarakat yang membentuk sistem dunia modern. Globalisasl adalah proses dimana berbagai peristiwa, keputusan dan kegiatan di belahan dunia yang satu dapat membawa konsekuensi penting bagi berbagai individu dan masyarakat di belahan dunia yang lain. 2. M. Waters
Globalisasi Assalamu’alaikum Wr Wb Kali ini saya akan posting tentang globalisasi. Berikut penjelasannya. A. Pengertian Globalisasi Globalisasi berasal dari bahasa Inggris yakni "globe" yang berarti dunia atau bola dunia. Globalisasi merupakan suatu proses menuju lingkup dunia. Dengan demikian globalisasi dapat diartikan sebagai proses mendunia, di mana semua peristiwa baik ekonomi, politik maupun budaya yang terjadi di satu belahan dunia dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Atau dapat disebut globalisasi merupakan suatu proses di mana hubungan sosial dan saling ketergantungan antarmanusia di dunia ini semakin besar. Hal ini seperti yang dikatakan seorang ahli bernama R. Robertson bahwa globalisasi adalah proses mengecilnya dunia dan meningkatnya kesadaran akan dunia sebagai satu kesatuan, saling ketergantungan dan kesadaran global akan dunia yang menyatu. Ahli lain bernama Martin Albrow mengatakan globalisasi menyangkut seluruh proses di mana penduduk dunia terhubung ke dalam komunitas dunia yang tunggal, komunitas global. Pendapat lain tentang globalisasi. 1. A. G. McGrew Globalisasi mengacu pada keserbaragaman hubungan dan saling keterkaitan antarmasyarakat yang membentuk sistem dunia modern. Globalisasl adalah proses dimana berbagai peristiwa, keputusan dan kegiatan di belahan dunia yang satu dapat membawa konsekuensi penting bagi berbagai individu dan masyarakat di belahan dunia yang lain. 2. M. Waters Globalisasi adalah sebuah proses sosial di mana halangan-halangan bersifat geografis pada tatanan sosial dan budaya semakin menyusut dan setiap orang kian sadar bahwa mereka semakin dekat satu sama lain. 3. Emmanuel Richter Jaringan kerja globalisasi yang secara bersamaan manyatukan masyarakat yang sebelumnya terpencar-pencar dan terisolasi dalam planet ini ke dalam ketergantungan dan persatuan dunia. Berdasarkan pengertian di atas secara jelas globalisasi mampu membuat suatu perubahan kehidupan dunia yang dulunya sangat sederhana menjadi bersifat multidimensional. Globalisasi juga membuat semakin kuat ikatan ekonomi, politik, teknologi dan budaya yang mampu menghubungkan individu, komunitas, perusahan dan pemerintah di seluruh dunia. Globalisasi membuat suatu kenyataan bahwa kehidupan dunia menjadi satu kesatuan dalam "satu dunia", yang membuat sebuah desa global global village dengan kehidupan manusia secara individu, kelompok, atau bangsa-bangsa menjadi saling ketergantungan interdependency dalam semua aspek kehidupan. Jadi, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuat ruang lingkup interaksi antarmanusia di seluruh dunia semakin menyempit. B. Faktor-faktor Penggerak Globalisasi Banyak ahli menyatakan bahwa semakin berkembangnya globalisasi maka hubungan masyarakat dunia serta saling ketergantungan dalam segala aspek kehidupan terlihat semakin nyata. Dua faktor yang mendukung proses globalisasi menjadi semakin cepat, yaitu perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta transportasi. 1. Teknologi Komunikasi dan Informasi Barkembangnya teknologi dan informasi dunia yang pesat membuat hubungan antar manusia di dunia semakin mudah. Sebelum terclpta alat-alat komunikasi yang canggih, tempo dulu manusia masih menggunakan sarana komunikasi yang sangat sederhana, kualitas dan kuantitas komunikasi sangat terbatas. Sarana komunikasi dan informasi yang canggih dengan harga yang terjangkau mampu mengatasi semua hambatan yang selama ini dialami oleh manusia dalam menjalin hubungan dengan sesama karena dipisahkan waktu dan jarak, serta tempat yang berbeda. Contoh alat komunikasi modern seperti telepon seluler dan smartphone yang dimiliki setiap orang memungkinkan setiap waktu dapat berkomunikasi dengan siapa saja di mana mereka berada. Kemudian internet yang membuat manusia dapat mengakses semua data informasi yang ada dan tersebar di seluruh dunia dalam waktu yang sesingkat mungkin. Internet dapat mempermudah suatu transaksi-transaksi dalam dunia bisnis di seluruh dunia. Internet dapat dipergunakan untuk e-banking, yaitu melakukan transfer modal yang dilakukan dengan pertukaran dokumen. Dalam dunia pendidikan internet melahirkan adanya e-learning, yaitu model pembelajaran di mana para siswa tidak perlu datang di sekolah-sekolah akan tetapi cukup berada di depan layar komputer dan berkomunikasi secara visual melalui internet dengan pengajar atau sesama pelajar. Teknologi satelit komunikasi dipergunakan oleh stasiun televisi untuk menyiarkan secara langsung suatu peristiwa yang terjadi di satu negara ke seluruh negara di dunia dalam waktu yang bersamaan dengan kejadian peristiwa tersebut. Misalnya adanya ,bencana alam, pertandingan olahraga, peperangan dan hiburan. 2. Teknologi Transportasi Sarana transportasi yang semakin canggih juga dapat mempengaruhi terjadinya perubahan perekonomian suatu negara maupun bidang-bidang kehidupan yang lain, seperti halnya politik, sosial dan budaya. Hal ini, dikarenakan ditemukannya teknologi transportasi dengan kecepatan tinggi sehingga memudahkan orang untuk menjalin kerjasama antarnegara. Teknologi transportasi mutakhir mempermudah untuk menjangkau suatu daerah sesulit apapun. Teknologi transportasi yang canggih, seperti pesawat yang bermesin jet dapat dipergunakan untuk mengantar para penumpang dari satu negara ke negara Iain dalam waktu singkat. Apalagi dengan biaya yang murah, pesawat terbang saat ini bukan lagi menjadi sarana transportasi bagi masyarakat kelas atas. Sebagian besar anggota masyarakat mampu menggunakan pesawat terbang sebagai alat transportasi. C. Globalisasi di Indonesia Di dunia ini, tidak ada satu negarapun yang bisa lepas dari pengaruh globalisasi, termasuk Indonesia. Globalisasi bagi Indonesia merupakan suatu tantangan dan kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia mampu ambil bagian dalam kancah globalisasi dunia. Kita memahami konsekuensi globalisasi, di mana suatu peristiwa yang terjadi Indonesia akan memberikan pengaruh pada dunia internasional. Sebaliknya peristiwa yang terjadi di dunia internasional akan memberikan dampak bagi Indonesia. Agar Indonesia dapat berperan dalam globalisasi internasional, maka diperlukan suatu persiapan yang matang dan selalu terbuka terhadap perubahan. Untuk menghadapi semakin derasnya arus globalisasi diperlukan sumber daya manusia SDM yang handal. Kualitas sumber daya manusia merupakan faktor penentu akan berhasil atau tidaknya negara kita menghadapi tantangan di era global. Untuk mendapatkan yang berkualitas diperlukan pelatihan dan pendidikan yang mampu mempersiapkan manusia untuk dapat bersaing di tengah arus globalisasi. Sumber Buku Pendidikan Kewarganegaraan SMP/MTs Kelas IX Semester Genap Penerbit PT Era Pustaka Utama Sekian postingan saya kali ini mengenai globalisasi. Semoga bermanfaat. Wassalamu’alaikum Wr Wb
Globalisasijuga membuat semakin kuat ikatan ekonomi, politik, teknologi dan budaya yang mampu menghubungkan individu, komunitas, perusahan dan pemerintah di seluruh dunia. Dalam konsep awal orang beranggapan bahwa globalisasi merupakan suatu gejala ekonomi.
Jakarta - Ada perbedaan secara signifikan pada peringatan satu dekade peristiwa 9/11 baca nine eleven di Amerika Serikat AS kali ini, yaitu Osama bin Laden telah ketahui bahwa bencana 9/11 sepulu tahun silam, menjadi gerbang awal babak baru bagi politik luar negeri AS, yaitu menggalang kekuatan dalam rangka war on terror perang melawan teror.Sebagai pimpinan Al Qaeda dan orang yang diklaim oleh AS mengarsiteki serangan yang meruntuhkan dua menara kembar World Trade Centre WTC dan jantung pertahanan-keamanan AS di Pentagon pada 11 September 2001, tewasnya Osama bin Laden merupakan hadiah terbesar bagi Paman Sam dan dunia. Khususnya dalam agenda perang melawan terorisme. Empat bulan lalu, tewasnya Osama bin Laden diumumkan langsung oleh Presiden Barack Husein Obama pada Ahad 1/5/2011. Osama tewas setelah diberondong oleh serangan SEAL Team 6 ST6, yaitu pasukan elit kontra teroris yang anggotanya disaring dari pasukan elit angkatan laut AS Navy yang oleh sebagian besar umat Islam tersebut sebagai simbol perlawanan terhadap hegemoni Barat tersebut, diserbu di kediamannya di sebuah mansion di pinggiran kota Abbottabad, 50 km 30 mil barat laut ibu kota Pakistan, masyarakat dunia yang turut merasakan dampak perang melawan terorisme tersebut, setelah Osama tewas berakhirkan agenda AS dalam perang melawan terorisme yang selama ini dijadikan alasan menginvasi dan mengintervensi sejumlah negara, termasuk intervensi terhadap Indonesia? Bagaimana geopolitik global di masa mendatang dalam kaitannya dengan war on terror terlalu simplistis jika secara spontan kita menjawab "iya" atau "tidak", mengingat perang melawan terorisme berhasil menciptakan multiple effect. Desain propaganda media Barat yang disetting oleh kepentingan AS, menjadikan terorisme sebagai momok bagi penduduk kini dunia dihantui oleh terorisme yang tidak ada matinya, dan bahkan semakin menggurita. Pintu fobia ini menjadi panggung indah bagi AS untuk melancarkan berbagai agenda war on kesempatan ini, penulis akan mengulas lebih jauh dampak politik peristiwa teror paling mematikan menewaskan tidak kurang dari 3000 orang sepanjang sejarah termasuk yang tewas akibat perang yang digelar AS dan sekutunya dalam pengejaran terhadap Osama bin Laden dan Al Qaeda, tak terhitung lagi jumlahnya. Sepuluh tahun terakhir, bagi AS sebagai pioner, motor dan panglima war on terror, peristiwa 9/11 memberi keuntungan war on terror bukan saja berakibat terhadap renggang atau bahkan retaknya relasi Islam yang distigmatisasi menjadi ideologi katalis teror dan Barat berkat penggiringan opini publik, seolah menjadi korban. Akan tetapi, lebih jauh telah menciptakan efek pada perkembangan politik, sosial dan ekonomi yaitu terbangunnya aliansi politik baru yang dikomandoi AS. Agenda war on terror berhasil merekatkan AS dengan sekutu-sekutunya dari lintas bangsa dan bagi sesama negara Barat dan negara-negara Arab yang kaya akan minyak yang masuk dalam shaf perang tersebut. Hal ini memungkinkan AS memberi pengaruh lebih jauh pada kebijakan-kebijakan politik dalam dan luar negeri negara sekutunya, termasuk memobilisasi sumberdaya modal dan militer dalam memuluskan agenda war on beberapa negara yang selama ini menjadi ancaman bagi pengaruh AS dapat direduksi atau bahkan dimatikan. Sebutlah misalnya Irak Pra Invasi 2003 yang menjadi salah satu rival AS dan sekutunya di kawasan Timur setelah George W. Bush mengomandoi perang yang digelar sejak 9 April 2003, karena menuduh rezim Saddam Husein mengembangkan senjata pemusnah massal yang menjadi teror terhadap keamanan dunia khususnya di kawasan Timur Tengah walau kemudian tidak terbukti, Irak menjadi lemah kalau tidak mau dikatakan hancur akibat terfragmentasi oleh perang saudara antar suku karena desain kepentingan Fakta politik di Irak tersebut tidak hanya memberi manfaat politik bagi AS akan tetapi manfaat ekonomi. Khususnya dalam proyek-proyek recovery infrastruktur pasca perang dan pengelolaan minyak Irak sebagai penghasil minyak tersbesar ke-2 di dunia setelah Arab Timur Tengah pasca Irak dihancurkan, Arab Saudi tampil sebagai anak emas AS. Rezim Saud bahkan menyiapkan pangkalan militer bagi AS yang menjadi pusat kontrol untuk kawasan Timur Tengah. Berbagai kemitraan dibangun oleh kedua negara baik ekonomi, maupun Asia Tengah, Afganistan yang sedari awal diidentifikasi sebagai tempat pelarian Osama bin Laden dan menjadi pusat komando jaringan Al Qaeda, AS dan sekutunya berhasil menempatkan militer dan menggelar mesin perangnya di kawasan. Di bawah komando Fakta Pertahanan Atlantik Utara NATO, bersama Pakistan, negara kayak minyak tersebut porak poranda akibat tetapi, nahas karena AS dan sekutunya sebagaimana di Irak justru terjebak hingga mengerahkan sumberdaya militer dan modal yang tidak sedikit. Sebagaimana dilansir oleh Reuters 10/9/2011 hasil perhitungan dari Brown University di AS memperkirakan di tiga negara tersebut As merugi hingga 4,4 trilun dollar atau sepertiga dari nilai beban utang AS saat ini sebesar 14,7 triliun sampai di situ, mitra politik AS juga rekat meluas hingga ke Asia Timur yaitu Jepang, Asia tenggara yaitu Singapura dan juga Australia di benua secara geopolitik, AS sukses menghegemoni dunia tapi dengan harga yang mahal karena setiap negara sekutu tersebut harus dikucuri dana untuk melancarkan agenda war on terror Indonesia yang menjadi mitra strategis kedua di Asia Tenggara setelah Singapura, untuk pembentukan pasukan elit anti teror Polri atau Detasemen Khusus Densus 88, pada tahun 2002 Washington merogoh kocek sebesar 16 juta dollar sebagaimana dilansir Human Rights Watch. Ini baru untuk satu negara, yaitu dengan negara lain? Sejumlah data menunjukkan jika setiap tahun dana untuk perang war on terror terus mengalami 2007 Paman Sam merogoh kocek sebesar 93 miliar dollar, tahun berikutnya 2008, bertambah menjadi 141 miliar dollar untuk seluruh sekutunya. Padahal saat itu, krisis telah memporak porandakan ekonomi Paman Sam. Tak heran jika krisis ekonomi AS terus berlanjut. Apalagi di Libya, AS berperan sentral dalam mendanai "perang" melawan rezim Muammar dapat dipungkiri bahwa kucuran danalah yang selama ini memuluskan langkah AS dalam membangun kekuatan politik sekutu dengan berbagai negara lintas benua untuk agenda war on kini AS tengah menderita dan ngos-ngosan akibat defisit anggaran karena besarnya beban utang. Bahkan saat ini rasio utang AS terhadap produk domestik bruto PDB lebih dari 100 persen. Tahun 2010 lalu, total utang AS yaitu U$ 14,58 triliun, sementara PDB tahun anggaran yang sama hanya U$ 14,53 dengan besarnya utang tersebut, maka porsi pembayaran utang dalam APBN akan menyandera kebijakan anggaran negara untuk diprioritaskan melayani kreditor asing dan para investor pemilik surat berharga sisi efektifitasnya, secara internal, beban pembayaran utang akan menjadi pemicu terjadinya kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya pembayaran utang telah mengurangi kemampuan negara untuk menstimulus perekonomian dengan dukungan pendanaan bagi pembangunan. Besarnya beban pembayaran utang setiap tahun mengakibatkan berkurangnya alokasi anggaran pembangunan dan pengurangan subsidi bagi rakyat yang menjadi tanggung jawab tindakan bodoh jika AS terus menumpuk utang untuk politik luar negerinya sementara krisis di dalam negeri menimbulkan gejolak politik dan rentan instabilitas. Dengan memangkas atau bahkan menghentikan kucuran dana bagi sekutunya, maka pengaruh politik AS akan krisis ekonomi AS yang turut dipengaruhi oleh agenda war on terror pasca 9/11 ini, menjadi babak baru dalam pergeseran geoekonomi dan geopolitik yang siap di-takeover oleh sejumlah negara emerging market, khususnya yang tergabung di dalam BRIC Brazil, Rusia, India dan China.Adalah sunnatullah dan fitrah peradaban jika suatu peradaban hegemoni dalam kasus Amerika layu, maka peradaban lain akan muncul. Tegantung siapa yang paling adalah Analis Ekonomi Politik SERUM Institute dan Pengurus Pusat KAMMI dan Telah menulis ratusan artikel yang dipublikasikan oleh media massa nasional –cetak & online- seperti Media Indonesia, Koran Tempo, Harian Republika, dllJusman DalleJl. Urip Sumoharjo Km. 05 Makassarjusmandalle wwn/wwn
MenurutAnthony Giddens, perubahan politik dunia merupakan kekuatan penggerak adanya globalisasi. Salah satunya yaitu runtuhnya imperium Uni Soviet, munculnya mkanisme pemerintahan internasional dan organisasi regional seperti PBB dan Uni Eropa, serta munculnya organisasi non pemerintah internasional dan antarpemerintahan.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Diera globalisasi seperti saat ini banyak bermunculan pengaruh-pengaruh kebudayaan luar, hal ini yang menyebabkan banyaknya masyarakat yang menganut kebudayaan barat. Ini menyebabkan lunturnya nilai nasionalisme dikalangan masyarakat terutama kalangan remaja. Banyak dari mereka justru meniru kebudayaan barat yang mengakibatkan lunturnya budaya sendiri. Globalisasi hadir membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat yang menimbulkan perdebatan menyangkut kaitannya dengan demokrasi. Setidaknya, globalisasi informasi telah mendorong penyebaran gagasan-gagasan tentang demokrasi ke seluruh dunia melalui kecanggihan teknologi. Dan karena globalisasi juga daya tahan suatu rezim pemerintahan menjadi terancam. Selain sukarnya penerapan prinsip kesetaraan yang merujuk pada konsep MULA NASIONALISME dan KEDAULATAN NEGARAMenurut Anderson 2001 berpendapat bahwa nasionalisme belandaskan persatuan dari komunitas-komunitas yang dibayangkan. Kesatuan ini disatukan oleh sebuah persaudaraan yang setara sehingga menciptakan entitas yang utuh. Nasionalisme terbentuk dari kesamaan stimulus sehingga .perasaan kebangsaan yang terbentuk adalahsama. Nasionalisme di Indonesia diawali dengan dibentuknya Syarikat Islam/SI sebelumnya Syarikat Dagang Islam/SDI. Peran SDI dalam nasionalisme bermula ketika H. O. S. Tjokroaminoto mengubah SDI menjadi Syarikat Islam, tidak hanya berkutat di soal perdagangan. Jika sebelumnya SDI berhubungan dengan ekonomi dan sosial, Tjokoraminoto menjadikan SI juga menyinggung tentang politik dan agama. Hal ini tampak dalam kegiatan SI yang menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial."kedaulatan negara" atau staatssouvereiniteit memang pada awalnya terkandung dan dikandung di dalamnya suatu pengertian "negara yang berdaulat/berkuasa penuh". Terutama di zaman pertengahan, maka Kaisar Jerman mengklaim menuntut sebagai haknya untuk dianggap oleh seluruh dunia sebagai pemilik kekuasaan mutlak. Atau setidak-tidaknya oleh seluruh Jerman, bahwa dia adalah satu-satunya souverein yang berkuasa penuh sepenuh-penuhnya. Sebagai kepala dari keseluruhan dunia Kristen, sebagai pewaris dari Kaisar Romawi. Dengan begitu, timbullah pengartian baru dari souvereiniteit/kedaulatan itu. Yakni, hubungan antar negara yang bebas/merdeka itu tidak tunduk/dijajah oleh negara lain. Arus globalisasi dan demokratisasi tidak mengenal ruang dan waktu, dan bahkan tak mengenal sasaran negara. Kuatnya arus globalisasi dan demokratisasi tersebut "memaksa" peran politik negara untuk melindungi kedaulatan politik nasionalnya. Namun meskipun telah dibuat berbagai regulasi untuk menguatkan kedaulatan politik nasional, bukan berarti arus globalisasi dan demokratisasi tidak menyeruak ke akar rumput. Gairah berdemokrasi justru semakin menyeruak di berbagai daerah di Indonesia. Daerah-daerah yang selama ini menjadi "korban politik dan ekonomi" pusat semakin mendapatkan momentumnya untuk bereaksi dan beraksi sesuai dengan kesadaran politik dan politik identitas yang dimilikinya. Dengan kata lain, politik identitas di berbagai daerah semakin menguat seiring dengan arus globalisasi dan demokratisasi. Contoh yang paling ekstrem adalah munculnya berbagai gejolak politik dan bahkan gerakan separatisme yang mengatasnamakan "kebebasan politik dan demokratisasi". Masyarakat menginginkan ruang kebebasan berekspresi dan berpolitik. Negara harus memberikan ruang kebebasan bagi warganya untuk telah mengubah kehidupan manusia sehari-hari, terutama di negara-negara berkembang, sekaligus secara bersamaan menciptakan sistem-sistem dan kekuatan-kekuatan trans-nasional baru. Globalisasi bukan semata-mata kebijakan-kebijakan kontemporer, tetapi justru mentransformasikan institusi-institusi masyarakat di mana masyarakat itu berada. Globalisasi, dalam klaim para globalis, akan membawa kehidupan demokratis ke seluruh dunia sebagai wujud kehidupan yang paling baik. Namun kenyataannya justru sangat kontradiktif, globalisasi telah menciptakan kekuasaan-kekuasaan global yang bersifat otoriter-oligarkis melalui Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional dan Perusahaan-Perusahaan Multinasional yang bekerja sama dengan negara-negara kaya. Karena itu, yang berdaulat dalam era globalisasi bukanlah rakyat sebagaimana dikehendaki demokratisasi, tetapi korporasi-korporasi internasional dan lembaga-lembaga keuangan dua perspektif yang dapat menjelaskan hubungan demokratisasi dan gerakan anti-globalisasi, yaitu perspektif anti- globalisasi dan perspektif demokratisasi. Anti-globalisasi adalah sebuah ideologi perlawanan untuk mengakhiri kekuatan korporasi multinasional, IMF, Bank Dunia, dan WTO sebagai instrumen kesepakatan global untuk pertumbuhan ekonomi. Sedangkan demokratisasi adalah realitas faktual perluasan demokrasi sebagai solusi bagi penciptaan kehidupan manusia yang lebih adil dan sejahtera. Gerakan Anti-Globalisasi lahir sebagai koreksi besar terhadap klaim para globalis. Gerakan ini menghendaki terwujudnya demokratisasi yang seutuhnya, yaitu, terwujudnya kedaulatan rakyat yang telah hilang akibat globalisasi dan terpenuhinya kesejahteraan sosial-ekonomi rakyat dan terjaminnya hak-hak sipil Era globalisasi yang serba terbuka ini membuat paham atau pandangan mengenai demokrasi menjadi luas. Keterbukaan ini memaksa peran negara untuk melindungi kedaulatan politik nasionalnya. Globalisasi bukan semata-mata kebijakan-kebijakan kontemporer, tetapi justru mentransformasikan institusi-institusi masyarakat di mana masyarakat itu berada. globalisasi telah menciptakan kekuasaan-kekuasaan global yang bersifat otoriter-oligarkis melalui Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional dan Perusahaan-Perusahaan Multinasional yang bekerja sama dengan negara-negara kaya. Karena itu, yang berdaulat dalam era globalisasi bukanlah rakyat sebagaimana dikehendaki demokratisasi, tetapi korporasi-korporasi internasional dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Untuk itu perlunya regulasi atau kebijakan yang mengatur kehidupan demokrasi bangsa agar asas demokrasi tetap terjaga dan tidak memudar seiring perkembangan zaman. Untuk itu perlu adanya kontribusi yang baik antara masyarakat dengan pemerintah dalam menjalankan kebijakan pemerintahan dan demokrasi guna mempertahankan kedaulatan negara sesuai dengan asas demokrasi yang sesungguhnya. Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
VIjOUQB. c3bm9g5q6p.pages.dev/595c3bm9g5q6p.pages.dev/470c3bm9g5q6p.pages.dev/332c3bm9g5q6p.pages.dev/516c3bm9g5q6p.pages.dev/355c3bm9g5q6p.pages.dev/265c3bm9g5q6p.pages.dev/180c3bm9g5q6p.pages.dev/62
peristiwa politik yang menjadi kekuatan penggerak globalisasi yaitu